Never Ending Train

Cerpen

Genre : Fantasy

Cerpen ini ditulis untuk tugas IBD Gundarma,
Kelompok : Abdul Zahra Al Jehan
                    Marcellion

****

Perlahan mendekat. Begitu juga semakin kuat. Karena tempatnya cukup tenang, tidak heran jika langkah kaki dengan sepatu yang terlihat sedikit usang itu terdengar berdecit saat bertemu dengan lantai yang terbuat dari besi.

Angka 12 terlihat di pinggir pintu. Setelah pria itu pindah ke gerbong lain, angka yang tertulis menjadi 1. Ini bukan hari pertama atau kedua baginya. Ia cukup tahu, angka yang tertulis di sana bukan berarti dia kembali ke gerbong pertama.

“Maaf, tapi aku sedang membaca. Bisakah kau duduk dan diam hanya untuk beberapa menit saja? Setidaknya, sampai aku bisa menyelesaikan buku yang satu ini.” Suara seorang gadis terdengar. Cukup sopan dan tenang, bahkan dari penampilannya pun menjelaskan hal yang sama.

“Ooh, maaf jika aku mengganggu.” Tidak berniat untuk menarik emosi gadis itu, sang pria mengikuti perintahnya. Duduk di sebuah kursi bagian kiri yang nyaman.

Gadis yang sedang duduk di kursi bagian kanan itu menutup bukunya pelan. Gadis itu menghela. Dia menaruh bukunya di atas meja yang tertempel pada dinding.

“Hmm, apa aku masih mengganggumu?” tanya pria itu merasa sedikit bersalah. Pria itu sekilas memerhatikan orang yang sedang diajaknya berbicara.

Mengenakan kemeja putih dengan jas hitam dan sebuah dasi yang rapih. Rambut panjangnya yang hitam terurai setiap kali dia menggerakan kepala, terutama saat menghadap pada jendela untuk melihat ke luar pemandangan.

“Rasanya sedikit aneh saat ada orang yang mengganggumu di suatu titik dan tiba-tiba kau tidak punya keinginan lagi, bukan?”

“…” Pria itu memiringkan kepala, tanda tak mengerti.

“Seperti sebuah domino yang sedang jatuh bergantian. Jika berhenti di titik tengah, pilihanmu hanya dua. Melanjutkannya dengan  perasaan setengah puas atau kembali menyusunnya dari awal.” Gadis itu berbicara dengan tenang dan jelas. Dengan jumlah waktu yang tidak terbatas, tindakan terburu-buru tidak perlu diperhatikan.

Si gadis melanjutkan.

“Tapi, aku tidak menyangka akan beretemu dengan orang lain di sini. Mungkin itu juga salah satu alasannya.”

Pandangannya yang terpaku pada pemandangan di luar jendela, berpindah pada si pria yang baru saja ditemuinya. Tidak lama, pandangannya kembali menembus jendela.

Sebuah pemandangan yang tidak mungkin terjadi di mana pun bisa terlihat. Sebuah lintasan debu berhamburan di angkasa. Berkilau, memantulkan cahaya. Debu-debu itu tercampur dengan pasir berlian berwarna putih.

“Jika kau berjalan melewati beberapa ratus gerbong, terkadang kau akan menemui seseorang. Kau adalah orang ketiga yang kutemui di kereta ini.” Pria itu menjelaskan sambil tersenyum kecil.

“Dengan tenaga yang kupunya, aku ragu bisa berjalan sejauh itu.” Gadis itu memejamkan kedua mata. “Aku lebih suka duduk, diam, dan membaca di sini.”

Tubuhnya sedikit kurus. Mungkin sejak awal ia memang bukan orang yang suka berada di luar rumah.

“Namamu?” tanya si gadis. Ia mendekatkan tangan pada dagu, seperti sedang berpikir sambil menatap pria itu.

“…” Pria itu terdiam. Dia mencoba sedikit melihat ingatan lamanya, kemudian berhasil ditemukan. “Rain!”

Kali ini orang yang bertanya yang terdiam. Melihat wajah pria yang tidak yakin dengan jawabannya sendiri, membuat gadis itu berpikir entah yang disebutkannya itu nama asli atau nama palsu. Namun, melihat mereka ada di mana, ia memutuskan untuk tidak memikirkannya terlalu dalam.
“Aria… Namaku,” jawabnya pelan.

“Aria?”

“Hah…?” Gadis yang memanggil namanya Aria itu membuat wajah aneh. Seperti teringat sesuatu, kemudian kembali melupakannya. Mulutnya setengah terbuka, membeku.

“Aria, kau membuat wajah yang aneh.”

“Maaf, hanya saja…” dengan terbata-bata, Aria kembali melanjutkan. “Rasanya sudah sangat lama sekali tidak ada seseorang yang memanggilku.” Aria tersenyum kecil. Kenangan masa lalunya sedikit terbuka, walaupun tidak banyak. Mengingat-ngingat masa lalu, tidak biasanya ia melakukan hal itu.
Perhatiannya tertarik pada benda milik Aria yang ada di atas meja. “Apa buku itu menarik?”

“Jika tidak menarik, aku tidak akan membacanya.” Jawabannya kali ini jauh lebih santai. Aria menyandarkan pada kursi agar pundak jauh lebih nyaman.

“Sepertinya sedikit berkebalikan. Membaca buku di kereta yang sedang bergerak seperti ini, tidak butuh waktu sampai satu menit untuk membuat kepalaku pusing.” Rain tertawa pelan. Ini adalah percakapan santai yang selalu diinginkannya. Karena jumlah orang di kereta itu sangat sedikit, mengeluarkan beberapa baris kalimat bisa lumayan membuat dirinya puas. “Sudah berapa kali kau membacanya?”

“Hmm…” Aria merenung. Ia tidak begitu ingat, tapi sepertinya semenjak pertama kali ia naik kereta, ia selalu membacanya. Totalnya mungkin sama seperti sarapan, makan siang, dan makan malam seumur hidup yang dijumlahkan. “Entahlah, mungkin ... lebih dari ... seratus ribu kali.”

“Hahaha…” Rain tertawa pelan. “Jika kau bisa membacanya sampai sebanyak itu, yah mungkin buku itu benar-benar menarik.” Rain berdiri dari kursinya.

Di kereta yang sedang berjalan itu, mereka tidak terikat oleh waktu. Kereta itu tidak pernah berhenti. Kereta itu terbang di angkasa, melintasi cahaya, langit, ruang, dan waktu. Mulai dari planet-planet kecil, mengelilingi tata surya, pindah ke galaksi, sampai bima sakti. Semua itu seolah-olah seperti dunia fantasi yang ada di buku.

“Kalau begitu, sekali lagi aku minta maaf karena sudah mengganggumu saat sedang membaca.” Itu adalah kalimat perpisahan dari Rain. “Aria, aku harap kita bisa bertemu lagi,” ucapnya dengan senyum puas.

“Ya, aku harap kita bisa bertemu lagi.”

Keduanya tahu kemungkinan seperti itu sangatlah kecil. Seratus kali lipat jauh lebih kecil dari volume atom yang ada. Terdengar mustahil memang, terutama setelah mendengar ucapan Rain sebelumnya. Namun, tanpa ada ikatan waktu yang nyata, mereka masih bisa bertemu lagi.
   
Ada berapa jumlah gerbong di kereta itu? Awalnya Rain mengira kalau dia hanya berputar-putar seperti sebuah looping tanpa henti, tapi berbeda. Dua hal yang membuatnya sadar akan hal itu. Saat pertama kali ia bertemu dengan seseorang, dan bagaimana bentuk setiap blok yang ia lewati.

Terkadang satu blok, memiliki sepuluh gerbong, terkadang tujuh, enam, lima belas, atau dua puluh, semuanya tidak ada yang sama. Kereta itu pasti memiliki ujung, meski Rain tidak berniat mencarinya.

Rain mulai berjalan, melanjutkan perjalanannya. Tak pernah sekali pun ia membalikkan tubuhnya.
Begitu pula dengan Aria yang membuka bukunya kembali dari awal.

Kenapa mereka bisa ada di kereta itu? Tidak ada yang mengingatnya.
Bagaimana mereka bisa ada di kereta itu? Tidak ada yang tahu.

Sudah berapa lama mereka semua ada di kereta itu? Tidak seorang pun yang ada di kereta peduli atau memperhatikan hal itu.

Mungkin kereta itu diciptakan oleh alien atau mungkin juga itu adalah mimpi orang-orang yang saling terhubung. Tidak ada yang buruk dari berkeliling ke tempat yang belum pernah atau tidak mungkin dijangkau oleh Manusia.

Aria tak pernah berhenti membaca bukunya sampai kereta itu benar-benar berhenti di tempat tujuan. Begitu pula Rain yang tidak pernah berhenti melewati dari satu gerbong ke gerbong lainnya.
Kereta misterius itu tidak pernah berhenti.

Komentar